Karya Tulis Bulan 2 - Lina Malahati, S.Pd. (Jumlah: 1)

Bekal Makan Siang Fathiya 

Lina Malahati, S.Pd.



Langit menggelar warna jingga keemasan di ufuk barat. Alam meredup dan burung-burung yang hinggap di dahan-dahan pohon mulai berterbangan menuju sangkar. Di antara burung-burung yag terbang itu, seekor burung hinggap di sebuah pohon mangga di dekat sebuah rumah minimalis di tepi desa. Dari rumah tersebut, terdengar suara anak perempuan yang sedang mengaji. 

Anak perempuan yang rajin mengaji saat maghrib tersebut bernama Fathiya. Saat ini dia duduk di kelas 3 SD. Selain anak yang rajin, Fathiya juga dikenal sebagai anak yang ramah dan santun. Sama seperti ayah dan ibunya yang terkenal ramah di kalangan tetangga. 

“Shodaqallahul adzim.” Fathiya mengakhiri kegiatan mengajinya. 

“Alhamdulillah,” sambut ibunda Fathiya.

“Bun, Fathiya mau tanya. Apa sih maksudnya kalau memberi itu pakai tangan kanan dan tangan kirinya tidak boleh tahu?” 

“Fathiya dengar itu dari mana?” Tanya bundanya penasaran.

“Fathiya dengar dari Pak Hasan, guru agama Fathiya”

“Jadi maksudnya, jika Fathiya ingin memberikan sesuatu kepada orang lain harus dengan cara yang sopan dan jangan sampai diketahui orang lain.”

“Memang kenapa, Bun, kok tidak boleh diketahui orang lain?”

“Nanti bisa saja timbul rasa riya atau sombong. Itu tidak baik, nanti mengurangi pahala.”

“Oh jadi begitu, terima kasih, Bunda.” Fathiya mengakhiri percakapan sambil mencium tangan ibundanya. 

***

Pagi ini matahari bersinar dengan ramah. Embun dingin yang terbawa udara mulai menipis dan menghilang. Burung-burung yang tinggal di pohon mangga sebelah rumah Fathiya mulai bernyanyi tentang pagi yang cerah ini.

Sementara itu, Fathiya telah siap berangkat sekolah. Tas punggung warna merah muda dengan gambar kelinci telah bersandar di punggungnya. Ia juga tak lupa memastikan tali-tali sepatunya terikat dengan sempurna. Raut wajah yang ceria nampak dari gadis kecil tersebut. 

“Fathiya, jangan lupa bekalnya dibawa, ya!” Suara lembut sang bunda menahan langkah Fathiya yang hampir sampai di depan pintu. 

“Oh iya. Terima kasih, Bun.” Sambil meraih tas bekal makan siangnya, dia kembali meraih tangan ibunya untuk bersalaman. “Fathiya berangkat dulu ya, Bun!”

Fathiya berjalan sambil sedikit melompat-lompat dengan bibir komat kamit. Ternyata, Fathiya sedang menghafalkan sila-sila Pancasila. 

“Satu ketuhanan yang maha Esa. Dua, kemanusiaan yang adil dan beradap. Tiga persatuan Indonesia, empat. Oh! Sudah sampai!” Fathiya tiba-tiba berhenti berjalan. Dia bersembunyi di sebuah tembok rumah. Ketika situasi aman, dia bergegas menuju sebuah gerobak barang bekas yang sedari tadi dia intai. Fathiya meninggalkan kotak makannya di gerobak tersebut dan menuliskan pesan jangan lupa dimakan ya, Pak. Setelah itu, Fathiya bergegas menuju sekolahya. 

Ini sudah hari ke tiga sejak Fathiya pertama kali meninggalkan kotak makannya di gerobak tersebut. Fathiya pernah melihat bapak pemulung itu kelaparan karena belum makan dari malam. Keesokan harinya Fathiya sengaja meninggalkan kotak sarapannya. Fathiya sengaja bersembunyi-sembunyi agar tidak ada orang yang tahu. Bahkan, bapak pemulung tersebut juga tidak mengetahuinya. 

Biasanya Fathiya mengambil tempat makannya sepulang sekolah dalam keadaan kosong dan bersih. Fathiya senang sekali jika seperti itu. 

***

Tibalah waktunya makan siang. Seperti biasa, Bu Mala meminta seluruh siswa untuk mengeluarkan bekalnya untuk dimakan bersama-sama. Sama seperti hari sebelumnya, Fathiya sendiri yang tidak membawa bekal. Fathiya hanya mengeluarkan biskuit dari saku tasnya.

“Hari ini tidak bawa bekal lagi, Fathiya?” Tanya Bu Mala sambil memegang pundak Fathiya. 

“Tidak, Bun,” jawab Fathiya singkat. 

“Kamu tidak lapar?”

“Tidak, Bun. Ini cukup.” Fathiya tersenyum yakin. Bu Mala menyerah dan tidak bertanya lagi. 

***

“Assalamualaikum, Bun! Fathiya Pulang.”

“Waalaikumusalam, bagaimana sekolahmu hari ini?”

“Hari ini pelajarannya sangat menyenangkan. Fathiya tadi dapat hadiah karena hafal Pancasila, Bun.”

“Wah, hebat sekali anak bunda.” Ibu memeluk tubuh Fathiya. “Tapi Fathiya, bunda tadi mendapat pesan dari Bu Mala. Beliau bilang Fathiya beberapa hari ini tidak membawa bekal. Hanya makan biskuit saat waktunya makan siang.”

Fathiya tertunduk sedih. “Maafkan Fathiya, Bun.”

“Tapi setiap pulang, kotak makan Fathiya bersih. Hari ini juga. Lalu, siapakah yang memakannya?” 

Fathiya semakin menunduk sedih dan tidak berkata apa-apa. Bundanya lalu mengiring tubuh Fathiya, mengajaknya duduk di sofa. “Sekarang Fathiya cerita ya, siapa yang biasanya memakan bekal makan siang Fathiya.”

“Fathiya memberikannya untuk Bapak yang mencari barang rongsokan di dekat sekolah Fathiya. Fathiya kasihan, Bun.”

“Kok Fathiya tidak cerita sama bunda?”

“Fathiya tidak mau orang lain tahu. Kan kata Bunda kalau memberi orang lain jangan sampai tahu.”

“Baiklah, kalau begitu, besok bunda berikan dua bekal. Satu boleh kamu berikan ke bapak tersebut dan yang satu Fathiya bawa ke sekolah ya. Bunda tidak mau Fathiya sakit karena sering melewatkan makan siang.”

“Terima kasih, Bun,” seru Fathiya sambil tersenyum lebar. Hatinya tiba-tiba berbunga-bunga dan tak sabar menunggu hari esok.

***

Pagi yang ditunggu oleh Fathiya tiba juga. Fathiya bangun lebih awal dan bersiap lebih awal. Fathiya bahkan membantu sang bunda menyiapkan bekal makan untuk bapak pemulung setelah sarapan. Setelah menggenggam dua bungkusan bekal, dia pamit dan mengecup punggung tangan bundanya. Tak lupa, ia mengucapkan salam. 

Pagi ini, Fathiya bahagia luar biasa. Dia berjalan sambil berjingkat dan menyanyi. Senyumnya menyapu alam semesta dan sesekali mengenai warga yang tak sengaja ia jumpai. Seperti aliran listrik, keceriaan Fathiya menyengat orang-orang yang bertemu dengannya sehingga ikut juga merasakan kegembiraan. 

Seperti biasa, Fathiya mengintai gerobak bapak pemulung dari balik tembok. Bapak tersebut belum datang. Kemudian, ketika yakin situasi aman, dia bergegas meninggalkan bekal tersebut. Tak lupa, dia meninggalkan pesan agar bapak pemulung segera memakannya. Sejurus kemudian, Fathiya telah berjalan menuju sekolahnya.

Sepulang sekolah, Fathiya menengok bekal yang ia tinggalkan. Ternyata masih utuh. Fathiya mencoba berpikiran positif. Mungkin bapak tersebut kesiangan hari ini. Fathiya melanjutkan perjalanan menuju rumah. 

Keesokan harinya, Fathiya kembali membawa bungkusan bekal buat bapak. Betapa kagetnya dia bahwa bungkusan yang dia tinggalkan kemarin pagi masih utuh tak tersentuh. Fathiya mulai cemas. Artinya, kemarin bapak pemulung tidak pergi bekerja. Dalam hati Fathiya kecewa, sedih, dan bertanya-tanya. Akhirnya, dia menukarkan bekal yang  lama dengan bungkusan yang baru sambil berharap bapak pemulung berangkat bekerja hari ini.

Baru kali ini, Fathiya berangkat menuju sekolah dalam keadaan yang tidak ceria. Hatinya masih sedih dan bertanya-tanya. Rasanya ia tak sabar menunggu siang untuk memastikan bapak pemulung memakan bekal darinya. 

Sepanjang pelajaran di sekolah, Fathiya tidak fokus. Pikirannya melayag-layang memikirkan Bapak. Maka, setelah pulang sekolah dia bergegas menuju gerobak untuk mengecek. Ternyata dugaannya benar. Bungkusan tadi pagi masih utuh. Fathiya pulang sambil terisak. 

Sampai di rumah, tangis Fathiya semakin menjadi. Bundanya yang melihat Fathiya menangis menjadi bertanya-tanya. “Fathiya, mengapa menangis?” Tanya sang bunda. Sambil terus terisak Fathiya menceritakan tentang bekal makan yang sudah dua hari tidak dimakan oleh bapak pemulung. 

Setelah mendengarkan cerita Fathiya, sang bunda mengajak Fathiya ke suatu tempat. Ternyata, Fathiya diajak mencari tahu tentang identitas dan alamat bapak pemulung yang sering dia berikan bekal makan. 

Ternyata bapak pemulung itu bernama Pak Hardi. Menurut informasi yang dia peroleh, anak Pak Hardi sedang dirawat di rumah sakit karena demam berdarah. Maka dari itu, beliau tak bisa bekerja. 

“Fathiya kasihan sama Pak Hardi Bun,” kata Fathiya dengan suara serak dan menahan tangis. 

“Sudah Fathiya jangan menangis. Yuk kita menjenguk anak Pak Hardi!” ajak sang bunda sambil tersenyum lebar. 

***

“Anak-anak, ayo kembali ke tempat duduk masing-masing. Fathiya ingin menyampaikan sesuatu pada kalian,” kata Bu Mala setelah istirahat. “Ayo Fathiya, silahkan disampaikan!” Lanjut Bu Mala.

“Teman-teman, yuk kita bantu Pak Hardi, seorang pemulung di dekat sekolah kita. Kita bisa mengumpulkan benda-benda yang yang sudah tidak terpakai. Bisa kertas, botol, kardus, atau yang lainnya. Nanti hasil penjualannya kita berikan pada Pak Hardi,” ajak Fathiya dengan kalimat terbata-bata. 

Keesokan harinya, sekolah menerima banyak sekali barang-barang bekas. Ternyata bukan hanya teman-teman Fathiya yang bersemangat melainkan orang tua siswa yang lain. Alhasil, barang-barang bekas yang dikumpulkan sangat banyak. Uang yang dihasilkan pun lumayan banyak. Fathiya dan sang bunda serta Bu Mala memberikan langsung pada Pak Hardi di rumah sakit. 

“Terima kasih ya, Fathiya. Bapak juga sampaikan terima kasih untuk teman-teman Fathiya.”

“Sama-sama, Pak. Semoga Bapak bisa segera kembali bekerja,” kata Fathiya.

Bu Mala sangat bangga dengan Fathiya. Karena kebaikannya itu, Bu Mala memberi predikat pada Fathiya sebagai Duta Sosial. Fathiya senang sekali mendapat predikat tersebut dan bertekad ingin membantu orang-orang di sekitarnya yang kesusahan.


Tags :

profil

Lina Malahati

Pembina GLS

I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.

  • Lina Malahati
  • Februari 24, 1989
  • Ds. Jatimekar, Kec. Cipeundeuy
  • [email protected]
  • +123 456 789 111

Posting Komentar